OH NO , I’M A BET !

OH NO ,  I’M A BET !
Oleh Mitha Juniar  

“Mom, help me ... I’m late. Oh my God.” Teriakku dari dalam kamar saat melihat jam dinding menunjukan pukul 6.30 pagi.
“Mommy, sudah katakana bangun pagi kamu.” Kata mamah ku yang datang tergesa-gesa dengan logat Indonesia yang masih belepetan, karena memang mamah ku asli Australia, sedangkan papah ku wong Solo tulen. Hehe …
“Come on, Jessy. Hurry up!” She said. (Aduh, keceplosan di bagian narasi yang ini. Maklum ya.)
            Dengan kecepatan melebihi motor Valentino Fernandes – oh tidak, itu nama adik mamah. Hhmm … Valentino Rossi maksudku. Aku segera bersiap pergi kesekolah. Hari ini, hari pertama aku masuk di SMA. Rok biru yang biasa menemaniku kesekolah kini berganti sudah. Abu-abu, seperti pakaian luntur saja jadinya. Kaihan aku, tak sempat sarapan, tak sempat berdandan, bahkan tak sempat melakukan ritual mandi sambil bernyanyi. Semuanya serba buru-buru.
“Oke mom, I go to school. See you ..” Aku mencium kening mamah ku. Tak sempat ia berkata aku sudah lenyap dibalik pintu.
*****
            Oh, My God … telat. Semua sudah mendapatkan kelas dan kursi. Sedangkan aku ?? Aku tidak tahu dimana kelasku sekarang. Segera aku menuju receptionist untuk menanyakan nasibku di sekolah itu.
“Ruang 6.” Gumamku. Ya, begitulah info yang ku dapat dari receptionist tadi.
Aku celingak celinguk mencari ruangan itu, entah yang kucari ada dimana. Huhh …
“Hei, bule !” Sapa seseorang di belakangku.
“Aku ?” Tanyaku aneh.
“Ya, kamu. “ Jarinya mengarah ke aku. “ Kamu diruang 6 kan? Itu disebelah sana ruangannya.” Lanjutnya, tapi kali ini jari telunjuk itu mengarah ke sebuah ruangan paling pojok di lantai 3 itu.
Karena sudah telat, aku tak pikir panjang. Segera aku berlari menuju ruangan yang di maksud. Sampai di depan pintu, seorang lelaki yang sudah tak layak di sebut muda lagi, hehe … sedang duduk menatap laptop di depannya. Sedangkan mereka yang duduk dihadapannya malah asik ngobrol. Ku ketuk pintu dengan dada yang berdebar-debar.
“Permisi … “ Ku buat suaraku sehalus mungkin.
“Ya, masuk . Duduklah.” Untungnya bapak yang setelahnya ku ketahui bernama Baehaqi itu langsung menyuruhku duduk.
Satu-satunya tempat yang tersisa dibelakang, tak kulihat satu anak perempuan pun di sekitar bangku kosong itu. Semua laki-laki, sedangkan yang perempuan berjejer dikursi depan. Ah, terpaksa …
“Hai, bule … “ Sapa seseorang dibelakangku.
“Hei, aku punya nama. Dan nama aku bukan bule.” Kataku agak kesal.
“Lalu siapa namamu ?” tanyanya lagi.
“Jessica.” Ucapku singkat dan langsung sibuk dengan ponselku.
            Awal yang kurang menyenangkan hari ini. Semoga ini tak berlangsung lama, besok harus lebih baik dari hari ini.
*****
“How was your school, babby ?” Tanya mama, membawakan segelas syrup orange untukku.
“Not so good, Mom.” Jawabku lemas dan menyeruput syrup yang dibawa mamah untukku.
“Why ?” Mamah duduk dan sepertinya antusias ingin mendengar ceritaku.
“I’m sorry mom, I don’t want discuss it.” Ku kecup kening mamah dan berlalu ke kamar.
Mamah hanya menyerah mengangkat bahu.
Sepertinya malam ini aku harus bekerja ekstra memejamkan mata, karena hari yang aku lalui tidak sesuai harapan.
*****
Brrraaakkkkkk …..
Oh my God, karena terburu-buru untuk menempati kursi di depan, aku justru menabrak siswa lain.
“Kamu nggak apa-apa kan?” Si empunya suara mengulurkan tangannya.
Ya Tuhan, meleleh rasanya hati ini melihat paras tampan dihadapanku.
“Oh tidak, aman kok.” Aku tersenyum dan meraih tangannya. Rasanya deg-deg-ser.
“Ya sudah, lain kali hati-hati ya.” Ia melepaskan gengamannya dan berlalu ke arah kantin.
Hhhmm … sepertinya dia boleh juga, pikirku.
“Dooorrr … “ Suara cempreng Gita, teman sekelasku membuat aku lupa bagaimana wajah tampan si cowok tak dikenal itu.
“Gitaaa …. “ Aku histeris tanpa sadar memeluk dan menciumi Gita.
“Hei, hei, hei … kamu sudah gila ya? Kita sejenis Jessy, apa orang bule tuh semua kaya kamu?” Celotehnya sambil berusaha melepaskan diri dari genggamanku.
“Uppss .. aku khilaf, babby . Hehe .. sini aku ceritakan.”Aku menarik tangan Gita dan menceritakan kejadian yang membuatku gila seperti ini.
            Dari Gita yang centilnya terkenal sampai kepelosok sekolah, aku tahu namanya Willy. Ia satu tingkat diatas kami. Ia juga baik, idaman para siswi disekolah ini, bahkan konon ketampanannya terkenal sampai keluar sekolah. Hehe … seperti dongeng ya?
Setelah kejadian itu, rasanya aku ingin mengulangnya. Bahkan kadang tersenyum sendiri saat mengingatnya. Dan tiba-tiba …
Plaaakkkkk …. Sebuah bola volley menghantamku cukup keras. Rasanya pening kepala ini, tak kuat kutahan akhirnya ku jatuhkan badan kebelakang. Tapi … ya Tuhan kesialanku selalu berujung manis. Ada yang menolongku dari belakang, bukan Willy. Yang ini tak kalah dengan tampang cute Willy. Postur badannya tegap, bibirnya merah tanda tak merokok, rambutnya agak kriting gondrong. Ya ampuuunnn ….. meleleh lagi .
“Kamu Jessy yang pindahan itu ya ?” Tanyanya padaku.
“Hahh ? Bukan, aku baru kelas X kak.” Aku tersipu malu menatap matanya.
“Oh, ya. Aku sering dengar tentang kamu. Ternyata mereka benar ya?” Ucapnya.
“Benar apa ka?” Aku sedikit heran dengan kata-katanya.
“Kamu manis, cantik, murah senyum itu yang sudah aku lihat. Tapi mereka juga bilang kamu pintar, baik, rajin. cuma aku belum pernah liat yang itu.” Kata-katanya membuatku melayang jauh menabrak tiang. Hehe ..
“Siapa nama kakak ?” Tanyaku berharap bukan hanya nama yang kudapat, tapi juga nomor handphone-nya.
“Ryan.” Jawabnya seiring senyum yang mengembang indah.
            Aku senang bukan main, sejak saat itu entah bagaimana ceritanya tapi aku jadi lebih dekat dengan Willy dan Ryan. Mereka mengakui kekagumannya padaku, mereka juga sudah menyatakan bahwa mereka menyukaiku. Tapi tak satu pun dari mereka yang bilang “maukah kamu jadi pacarku?” Akhirnya aku cukup tahu tentang perasaan mereka, tanpa harus merespon balik. Lagipula aku bingung kalau harus memilih.
*****
            Pagi ini entah kenapa aku agak malas berangkat ke sekolah, mataku terasa berat, badan seakan tak mau ikut bergerak, tulang serasa remuk dan lepas dari persendiannya.
“Come on honey, hurry up. Tidak mau terlambat, kan ?” Mamah menarik lenganku dan memaksaku segera bangun.
Ah, paksaan mamah cukup membuatku bergerak dengan sekian kekuatan kemalasan yang aku punya. Hari ini harus berangkat sekolah dengan tema “malas”.
            Aku kira, aku telat sampai di sekolah. Ternyata justru akulah siswi pertama yang menginjakan kaki di sekolah. Ohh, tapi tunggu dulu! Sepertinya aku salah. Diruang kelas, sayup-sayup aku dengar percakapan beberapa orang.
“Gilaa .. hebat ….. Jessy …. kamu.” Entah apa yang kudengar, tapi aku yakin orang itu menyebut namaku .
Segera kurapatkan telinga kepintu ruangan itu. Cihuuyyy … sepertinya sang pintu mengerti maksudku. Ia tak tertutup rapat. Ku lihat Willy, Ryan dan Chandra didalam sana.
“Jadi kita terusin kan taruhannya, kalian sanggup kan ?” Tanya Chandra pada dua orang didepannya.
“Yalah, tentu. Kalau cuma Jessy sih… kecil kali Chan.” Jawab Willy tengil.
“Aku juga.” Kali ini tampang Ryan tak setengil Willy, wajahnya tampak mengguratkan aura penyesalan.
“Taruhannya masih seperti awal ya.” Lanjut Chandra.
            Aku kaget setengah mati, ternyata selama ini mereka hanya menjadikanku bahan taruhan. Aku sangat kecewa, sakit hati, dan sakit jiwa.
Brraakkkkk …
Ku buka pintu kelas itu sekencang mungkin.
“Kalian jahat !” Aku tak dapat menahan air mata yang sudah sejak tadi terbendung dan berontak.
“Jessy.” Ryan, Willy dan Chandra kaget bukan main mengetahui rahasia itu terbongkar tepat dihadapan si bahan taruhan.
“You are crazy, evil, how could you make me a bet.” Amarahku mulai memuncak, ingin rasanya aku cabik-cabik wajah ketiganya saat itu.
“Aduh, gimana nih taruhannya? Orangnya sudah tahu, batal deh dapat BB tourch-nya.” Kata-kata Chandra semakin membuatku jengkel. Sementara Willy dan Ryan hanya diam membatu di belakang Chandra.
            Tak ku beri kesempatan bagi mereka untuk menjelaskan semua permasalahan ini. Aku berlari sekuat tenaga keluar dari sekolah, tarnyata inilah hikmah dibalik pemakasaan mamah kalau aku harus berangkat ke sekolah. Terima kasih Tuhan, kau pilih mamahku untuk menyampaikan pesan-Mu. Mulai saat itu aku benci dengan ini semua. Aku benci cinta anak sekolah . Dan percaya atau tidak, saat kuliah pun aku tak percaya pada kata yang mereka bilang indah itu, CINTA.



 Kandang Sastra , Jakarta






Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu