Di Balik Metropolitan

Di Balik Metropolitan
Oleh Juniarmitha

Jakarta, oh Jakarta. Nggak seperti yang saya bayangkan. Kalau nggak kuat-kuat banget hidup disini (baca : Jakarta) mending nggak usah deh. Syukur-syukur kalau imannya kuat, kita bisa narik orang untuk kembali ke jalan yang benar. Lhaa… kalau ternyata justru kita yang tertarik ke dunia kelam mereka? Astaghfirullah. Meskipun memang ada sedikit hikmah sih, karena tinggal di Jakarta saya bisa jadi seorang ‘perempuan’. Eitss… jangan berpikiran kalau saya ini perempuan jadi-jadian ya. Saya perempuan tulen len len. Maksud saya dulu sewaktu masih tinggal di kampung, saya itu cuma seorang ‘anak perempuan’. Nah, kini semua berbeda. Kerasnya kehidupan di kota metromini eh… metropolitan maksudnya, sudah membuat saya berubah. Untungnya berubah ke arah yang lebih baik. Kenapa saya bilang begitu? Karena pada kenyataannya banyak bahkan sangat banyak yang berubah ke arah tidak baik. Disini saya cuma ingin merunut apa saja sih masalah yang terdapat di Jakarta. Bukan maksud untuk menjatuhkan pemerintah daerah atau pun pusat, tapi untuk pembelajaran mereka yang belum menginjakan kaki di Jakarta. Syukur-syukur kalau Jakarta bisa berubah lebih baik. Aamiin… .
Sekarang coba deh perhatikan sekitar kalian – yang tinggal di Jakarta lho – , dikanan kiri banyak terdapat masyarakat Jakarta dengan kesibukannya. Mulai dari kuli angkut pasar hingga kuli angkut uang rakyat (baca : koruptor). Bukan cuma itu, banyak juga yang datang ke ibukota tanpa bekal ilmu dan keterampilan malah jadi gelandangan, penggangguran, pelaku kriminal, pengemis, pengamen dan lain-lain. Salahkah mereka jadi seperti itu? Saya pernah bertanya pada salah satu gelandangan yang saya temui di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Saya tanyakan, kenapa ia bisa jadi seperti itu? Gelandangan asal Jawa Timur itu menjawab, “awalnya saya liat orang-orang yang tinggal di Jakarta hidupnya enak, mbak. Tapi saya salah. Tau gitu mending saya bantuin emak ngangon kambing di udik dah.” Kesimpulannya, mereka yang nggak tau apa-apa tentang kehidupan Jakarta akan tergiur dan tertipu acara tayangan di TV yang memamerkan glomournya hidup di Jakarta. Di kira yang tinggal di Jakarta orang kaya semua kali ya? Ckckckck….
Lain halnya dengan pendapat teman saya, ia menilai pemerintah kurang memperhatikan kaum gepeng (gembel dan pengemis). “Harusnya pemerintah tuh bikin rumah susun kek untuk gepeng, terus mereka dibekali keterampilan untuk cari uang dengan cara yang benar. Jangan malah bikin bangunan ini itu yang banyak dampak negatifnya buat Jakarta dan penduduknya, bukankah mereka (baca : para pemerintah) juga penduduk Jakarta? Berarti dampak negatif itu pasti akan menyerang meraka juga, kan? Bukan cuma Jakarta bahkan dampak negatifnya justru dirasakan oleh seluruh Indonesia.” Begitu katanya.
“Aduh, kalau maen salah-salahan kaya gitu mah nggak ada solusi atau jalan keluar dari permasalahan ini. Mending kita koreksi diri sendiri yuk!” Sahut teman saya yang satunya.
            Nah, kalau yang ini saya setuju. Pemerintah koreksi diri, rakyatnya pun begitu. Nggak usah muluk-muluk deh. Mulai dari disiplin membuang sampah ditempat sampah, saling menghormati, sampai sabar kalau lagi antri naik bus Trans Jakarta. (Hehe… maklum, pengguna setia bus). Tapi sekarang mah apa coba? Abis makan roti sambil jalan, plukk… aja dibuang sembarangan tuh bungkusnya. Dorong sana, sorong sini saat akan masuk ke bus. Padahal kan kalau sabar lebih nyaman, lebih indah kelihatannya. Kadang saya suka malu kalau ada bule yang ikutan naik bus Trans Jakarta tapi malah mendapatkan perlakuan yang nggak baik kaya dorong-dorongan tadi.
Saya pernah berpikiran kalau tinggal di kampung itu lebih baik dari pada tinggal di kota. Di kampung cuma butuh polesan untuk asah otak dan kreatifitas saja, ciptakan usaha sendiri deh disana. Jadi pengusaha sukses meski dari kampung. Tapi pendapat seorang senior saya, membuat saya bingung. “Yang di Jakarta saja susah untuk dapat perhatian pemerintah, apalagi di kampung. Meskipun usaha sendiri tapi mau nggak mau harus pake peran pemerintah juga kan?” Nah lho… saya yang plin plan jadi bingung deh. Tapi pada dasarnya itu semua tergantung pada diri orang itu sendiri. Mau dibawa kemana arah hidupnya. Intinya kerja sama lah antar penduduk dan pemimpin.
            Bukan cuma itu, kenakalan remaja juga sering kali mengiasi head news diberbagai media. Memang kenyataan sih, sekarang pelajar-pelajar berseragam sekolah tak canggung lagi merokok di tempat umum. Mereka yang sedang kasmaran tak malu untuk menunjukan kemesraan juga ditempat umum. Bahkan yang lebih meyimpang, mereka yang sejenis (perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki) justru asik pegang-pegangan, lagi-lagi di tempat umum. Nauzubillah…
            Apa benar kalimat yang bilang kalau moral anak-anak Jakarta sudah benar-benar bobrok? Ya, sepertinya memang tepat. Untuk hal yang satu ini, salah siapa ya? Menurut kalian?
Saya tidak pungkiri, saya juga punya teman yang bisa dikatakan moralnya bobrok. Ia pernah bercerita pada saya, kalau keperawanannya sudah diambil seseorang yang ternyata adalah pacarnya. Ia juga sering minum minuman keras kala masalah keluarga menyerangnya, bahkan ia juga nge-drug bareng teman-temannya.
Bisa disimpulkan, 1. Pacaran justru membuat seseorang masuk lubang maksiat. 2. Keadaan keluarga yang tidak baik membuat frustasi dan menyimpang, maka dari itu kalau bisa masalah keluarga secepatnya diselesaikan secara kekeluargaan. 3. Lingkungan yang tidak baik juga membuat seseorang jatuh lagi-lagi ke rumah setan, jadi pintar-pintar deh pilih teman. Sudah ada bayangan kan apa yang seharusnya dilakukan saat masalah datang? Ya, tentunya jangan seperti teman saya itu.
Intinya ada beberapa faktor yang menyebabkan bobroknya moral anak bangsa, bukan cuma di Jakarta. Seperti dalam salah satu blog yang saya kutip di internet. Disana dijelaskan kalau ada tiga factor yang menyebabkan bobroknya moral anak bangsa, seperti :
·         Keluarga,
·         Pendidikan
·         dan pergaulan yang kurang baik

Ada 5 cara yang harus dilakukan oleh para remaja maupun para pemuda yaitu :
1.      Mari kita meningkatkan kualitas diri,yakni bagaimana cara kita untuk mencitrakan diri sebagai seorang pelajar :berupaya terus  menguatkan iman kepada Allah dan meningkatkan ketakwaan.
2.      Menjadi cerdas dan bijak dalam menghadapi problem-problem besar
3.      Memperbaiki system pendidkan yang ada diindonesia agar menjadi system pendidikan yang lebih baik lagi
4.      Memperbaiki keagamaan para remaja Indonesia dengan cara banyak melakukan kegiatan keagamaan.
5.      Menyaring setiap budaya yang akan masuk kedalam kehidupan para remaja.
      
Nah, disini peran keluarga dan lingkungan pendidikan sangatlah dibutuhkan. Ayo deh, yang punya anak, adik, saudara, tetangga yang masih remaja, pantaulah mereka dengan intensif tanpa menjadikannya burung dalam sangkar. Jangan sampai kejadian yang tidak diinginkan justru terjadi pada orang-orang terdekat kita. Ingat! Semua dimulai dari diri sendiri.
           
Oke, tadi kita sudah bahas tentang ‘negatifnya’ Jakarta. Boleh dong kalau sekarang kita bahas ‘enaknya’ Jakarta. Ehhmm… menurutku enaknya di Jakarta banyak tempat-tempat dan fasilitas yang mendukung segala aspek diberbagai bidang. Mulai dari usaha kecil-kecilan sampai dengan usaha yang WOW. Istilah kasarnya, pencopet aja cuma modal kemauan bisa dapet uang, dia nggak punya modal uang kan? Banyak juga yang nggak terlatih tapi karena desakan ya… nggak ada pilihan. Cuma kemauan. Eh, tapi jangan diikuti ya cara yang ngga bener ini. Saya cuma mau bilang kalau ada kemauan usaha, meski modal pas-pasan pasti bisa. Nah, kalau di pedesaan bin pelosok kan kita mesti berjuang supaya usahanya dikenal orang baru bisa maju dan sukses. Nggak jarang semua itu mesti ngeluarin uang yang nggak sedikit kan?

Selain itu kalau ditilik lebih dalam ternyata Jakarta itu bisa disebut kota pemersatu ya. Coba liat aja, banyak orang-orang yang datang dari berbagai daerah. Otomatis berbagai suku pun kumpullah di Jakarta dan membentuk suatu kesatuan yang bisa dibilang ada nilai tambahnya. Misalnya, mereka yang berkumpul dari berbagai daerah menceritakan keadaan di kampung halamannya, apa keunggulan dan cirri khasnya terus yang lainnya punya ide untuk menggarap ciri khas dan keunggulan itu menjadi sebuah ladang usaha. Nah, jadi bener kan, kalau silaturahim itu membuka jalan rezeki? Tapi, ada tapinya nih. Jaga sikap dan jaga iman aja deh di Jakarta. Cari teman sebanyak-banyaknya di Jakarta, jangan malah cari musuh. Bagaimana mau sukses kalau musuhnya aja bejibun. Well, Jakarta nggak sejahat ibu tiri kok kalau kita mau ikutin aturan dan jaga diri dari hal-hal negatif. Caranya? Ya itu tadi, berbekal iman dan ilmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu