Dosa Dan Kotak Amal

Dosa Dan Kotak Amal
Oleh Mitha Juniar

            Aku yakin, kalian setuju dengan pendapatku bahwa di zaman sekarang ini ‘uang’ menjadi prioritas utama dalam menyambung hidup. Sedangkan benda itu – uang – sudah mulai sulit didapatkan. Kebutuhan semakin mencekik, pekerjaan pun seakan tak bersahabat. Apalagi untuk manusia macam aku yang tak punya tittle dibelakang namaku seperti layaknya orang-orang pintar disana. Jangankan untuk tittle dibelakang namaku, untuk mendapatkan selembar kertas ijazah sekolah dasar saja sangat sulit bagiku. Maklumlah, aku hanya terlahir dari rahim seorang buruh pabrik kecil-kecilan dan … ahh, entah aku punya bapak atau tidak. Aku harap tidak.
            “Kenapa sih, aku bukan lahir dari orang kaya saja. Kan aku bisa sekolah sampai keluar negeri. Punya banyak uang untuk buka usaha dan lain-lain. Aduh, nasib .. nasib ..” Aku selalu mengeluh dengan apa yang terjadi dalam hidupku.
            “Ridha, sini leh bantu ibu sebentar.” Teriakan ibu membuat lamunanku buyar seketika.
Aku menghampiri ibu dengan sedikit berlari, takut terjadi apa-apa dengan ibu. Ah, benar saja. Ibu terpeleset dekat dapur. Aku segera memapah ibu yang masih terlentang dan memegang pinggangnya.
            “Kok bisa jatuh sih bu? Emang ibu sedang ngapain? Jalan kok ngga hati-hati.”
            “Tadi kaki ibu tersandung kaki meja itu, tapi lantainya licin jadi ibu langsung terpeleset.” Jelas ibu sambil beberapa kali menunjuk tempat kejadian perkara, hehe .. lucu juga melihat ibu jatuh seperti tadi. Husshhh .. apa sih aku ini, itu kan orang tuaku. Aku segera mamapah ibu masuk ke kamarnya dan membantunya berbaring di ranjangnya. Semoga ibu tidak apa-apa.
*****
            Malam itu aku dan ibu baru saja selesai merapikan rajutan sebagai PR ibu dari mandor pabrik. Tapi tiba-tiba ibu merintih kesakitan memeluk pinggangnya.
            “Aduh, pinggang ibu sakit. Kenapa ya ?” Wajah ibu mengguratkan kesakitan yang luar biasa.
Sesekali ibu coba menarik nafas dalam dan menghelanya jauh-jauh demi menghilangkan rasa sakit itu.
            “Aduh, jangan-jangan karena jatuh tadi siang. Ayo kita periksa ke rumah Bu bidan Nenty, Bu.” Aku berdiri dan bersiap mengantar ibu ke rumah Bu bidan  yang kebetulan tak jauh dari rumahku.
            “Ibu ngga kuat berdiri, Dha. Apalagi untuk berjalan. Sakit sekali rasanya.” Wajah ibu memucat seketika.
            “Ayo Ridha gendong, Bu.” Aku meraih tangan ibu dan menggendongnya.
Aku mempercepat langkahku, bahkan sedikit berlari sambil menggendong orang yang sangat ku sayangi itu. Aku tahu, pasti sakit yang ibu rasakan itu sangat menyiksanya. Terbukti pada tubuhnya yang semakin memucat, peluhnya menetes basahi baju dan samar-samar terdengar rintihan kesakitan sambil terus memegangi pinggangnya.
Ibu bertahanlah …
            Untunglah aku dan ibu datang saat waktu yang tepat, Bu bidan ada di rumah. Ia segera mempersilahkan aku dan ibu masuk ke ruang praktiknya.
            “Berbaring disana, bu.” Kata Bu bidan sambil menunjuk satu-satunya tempat tidur yang ada di ruang praktiknya.
Bu bidan mengeluarkan peralatan medisnya dan langsung memeriksa ibu. Entah apa yang dilakukannya hingga ia bilang ibu mengalami pembekakan sendi dan tulang ekor.
            “Ibumu harus dirawat, Dha. Karena takut terjadi patah tulang yang berakibat fatal. Atau paling tidak rawat jalan lah. Tapi itu akan banyak memakan biaya. Jadi kusarankan lebih baik dirawat inap saja.” Katanya sambil merapikan peralatannya.
            “Kira-kira berapa bu biaya kalau rawat inap?” Tanyaku malu-malu.
            “Paling tiga ratus ribu sehari, Dha. Nah, ini resep obatnya untuk mengurangi rasa sakit pada pinggang ibumu.” Bu bidan menyerahkan selembar kertas dengan coretan tak jelas, ahh .. mungkin benang kusut. Entahlah …
            Astaghfirullah … lemas aku melihat nominal uang yang harus aku keluarkan hanya untuk obat saja.
Rp. 160.000,-
Angka yang cukup membuatku memutar otak untuk mendapatkannya. Bagaimana ini? Ku tengok ibu yang masih meringis kesakitan. Ya Allah … bagaimana ini?
            Aku pulang dengan wajah sok tegar, seperti tanpa pikiran. Padahal dalam otakku telah bergumul cara-cara untuk mendapatkan uang minimal 160.000 itu. Sedih melihat ibu hanya bisa berbaring lemah seperti sekarang ini. Tapi aku tak mampu berbuat apa-apa, uppsss .. bukan tak mampu berbuat tapi tak mampu melawan rasa malu dam malasku. Aku ini laki-laki berumur 21 tahun, tapi hidupku masih bergantung pada wanita tua berumur 63 tahun. Aduh, betapa malunya aku.
            Pusing dan mumet dengan keadaan sekarang, aku coba mencari angin keluar gubuk. Berharap akan ada uang datang padaku, mungkinkah ? Entah. Tak sadar aku berjalan cukup jauh hingga memasuki perbatasan kampung sebelah, aku berhenti sejenak disebuah surau. Ku lihat beberapa kali orang-orang keluar masuk untuk ibadah disana. Sedangkan aku? Hanya memperhatikan mereka saja. Agamaku Islam, tapi aku tak pernah melaksanakan seperti yang mereka lakukan sekarang, Sholat. Waktu kecil dulu, aku sering sih ikut ibu sholat tapi hanya mengikuti gerakannya saja, tak tau apa yang harus aku baca. Seiring perkembanganku, justru kini aku menjadi leleki yang ‘begajulan’, tak pernah lagi aku melaksanan sholat barang sekali pun.
            Aku penasaran dan coba masuk ke dalam surau itu. Hhmm .. surau yang sangat sederhana. Disana terletak beberapa tumpukan sajadah, peci, mukena dan hijab pembatas antara wanita dan laki-laki. Ku perhatikan semuanya dengan seksama.
            “Sama seperti zaman aku kecil dulu.” Gumamku.
Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada benda berbentuk kotak kecil di dekat mimbar imam. Ku lihat beberapa orang memasukan uang ke dalamnya. Entah sepuluh ribu atau dua puluh ribuan, semuanya beragam. Ya, itu kotak amal. Otakku berpikir tentang kotak amal itu. Jika satu orang saja memasukan sepuluh ribu saja, berarti di dalam kotak itu sudah terkumpul …. Aduh, aku tak bisa berhitung. Tapi aku yakin, isinya pasti banyak. Bisikan setan mulai memenuhi telinga dan otakku.
            “Sudah, ambil saja !” Bisik setan disebelah kiri.
            “Jangan, itu kan uang amal untuk yang tidak mampu.” Balas malaikat disebelah kananku.
            “Hei, kamu kan juga tak mampu. Berarti kamu behak atas kotak amal itu.” Sepertinya kata-kata ini mampu membulatkan tekad ku untuk mengambil kotak amal itu.
            Perlahan aku mendekat dengan kotak amal itu. Aku pegang dan memandang keseluruh sudut surau.
            “Aman, tak ada yang melihat.” Bisikku bangga.
Segera aku coba membuka kotak amal itu, cukup sulit. Berkali-kali aku berusaha membukanya tapi tetap nihil hasilnya. Saking asiknya aku sibuk dengan kotak amal itu, jariku malah terjepit di antara gembok kotak amal itu bahkan aku tak menyadari kalau disampingku sudah ada seorang anak kecil dengan kulit yang menurutku sangat menjijikan, penuh kudis. Aku kaget dibuatnya, ia memperhatikanku dengan pandangan menakutkan. Teringat kalimat – Anak kecil tak pernah bohong – Aku takut kalau anak itu akan mengadukan perbuatanku pada pengurus surau. Keringatku mulai bercucuran, tubuhku gemetar dibuatnya, ditambah lagi dadaku berdebar kencang. Samar-samar terdengar langkah dan obrolan beberapa lelaki ke arah surau. Aku semakin terpaku, ku lirik tanganku yang masih terjepit gembok kotak amal itu. Suara orang-orang itu sudah semakin dekat, anak kecil yang penuh kudis tadi mendekatiku. Ditariknya tanganku begitu pelan dan jleepppp …. Gembok dapat dengan mudah terlepas dari tanganku. Aku malah bengong dan bingung dibuatnya. Ia mengajakku bersembunyi disebuah ruangan dekat mimbar.
            “Kakak kenapa mencuri?” Tanyanya berbisik seakan tahu ketakutanku.
            “Mencuri? Enak saja. Aku ngga mencuri, kamu anak kecil jangan sembarangan bicara dong.” Kataku sedikit membentak.
            “Sudah mencuri sekarang bohong, kasihan ya hidup kakak.” Katanya lagi membuat mataku terbelalak. “Allah mengetahui semuanya, kak.” Lanjutnya.
            Tak sadar aku menangis.
            “Lho kok kakak malah nangis sih, kaya anak kecil.” Katanya melihat aku menangis seperti bayi.
            “Kamu tau ngga, aku melakukan ini untuk kesembuhan ibuku.”
            “Ibuku juga sakit, tapi aku ngga mencuri. Ibu bilang dia akan sedih kalau tahu aku berbuat seperti itu. Memalukan! Lebih baik aku bekerja seperti sekarang, sebagai penjual plastik kresek di pasar. Lebih halal.”
Aku tersentak mendengar kata-katanya. Aku berpikir sejenak, benar yang dikatakan anak ini. Sepandai apa pun aku berusaha menutupi kesalahanku tapi aku tak dapat membohongi Allah, zat Yang Maha Mengetahui. Ah, kenapa aku baru menyadarinya. Aku malu dibuatnya. Dadaku berdebar, kali ini lebih takut dari kepergok warga tadi. Aku takut pada Allah karena dosa ini. Air mataku mengalir deras, ucapan anak kecil itu telah membukakan mata hatiku. Aku masih muda, masih kuat, meski pun tak punya ijazah seperti yang dibutuhkan pada umumnya tapi bukankah masih banyak pekerjaan lain yang tidak membutuhkan itu? Ya, masih banyak. Dan aku harusnya mencari itu bukan berpasrah diri bahkan menggunakan jalan tidak baik.
“Maafkan aku ya Rabb, aku malu atas kejadian ini. Mudahkan lah segala urusanku agar ibu bisa cepat sembuh. Tuntun aku ke jalan benar-Mu. aamiin …” Bisikku nyaris tak terdengar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu