Harapan Untuk Sheli

Harapan Untuk Sheli
Oleh Mitha Juniar

            Butiran bening nan basah itu terus mengguyur kampung halamanku sejak pagi tadi hingga matahari harus kembali ke peraduannya. Ku lihat Ibu tertidur di kamarnya, pasti ia kelelahan karena seharian bekerja. Sedangkan Ayahku belum pulang bekerja. Mungkin hari ini Ayah akan pulang hampir larut malam lagi seperti hari kemarin. Tak ada kegiatan dihari yang hujan seperti ini untukku. Aku lebih memilih merenung di kamarku. Aku terduduk miris dipinggir ranjang tempat tidurku memandang setiap mereka (baca:tetes hujan) yang mengalir lembut tepat di jendela kamarku. Ingatanku melayang ke masa lalu. Terbayang kembali saat aku kecil dulu, saat seragam pendidikanku itu masih berwarna putih-merah. Dalam bayanganku seorang anak perempuan berlari-lari menerobos hujan bersama dengan teman-teman sesama penari cilik lainnya. Mereka selalu riang berjalan pulang ke rumah dari tempat les menari. Ya, itu aku. Aku yang dulu gemar menari, aku yang dulu ingin sekali menjadi seorang penari latar. Tapi mimpi itu harus pupus disaat kemampuanku mulai berkembang.
“Kakak berhenti les tari saja, ya? Uang Ibu sudah ngga cukup untuk les Kakak. Nanti kalau Ibu dan Ayah ada uang lagi baru lesnya dilanjut. Ngga apa-apa kan, Nak?” Kata-kata ibu membuatku lemah. Aku sangat kecewa terhadap Ibu dan Ayah. Bukankah mereka sebagai orang tua seharusnya mengupayakan semuanya demi cita-cita anaknya? Yaitu aku.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa diumurku yang masih seumur jagung. Aku hanya bisa menurut apa yang diatur Ibu dalam kehidupanku. Belum ada kemampuan bagiku untuk mengatur jalan hidupku sendiri yang masih amat kecil. Aku hanya berharap suatu saat nanti, Ibu akan punya uang dan aku bisa les tari kembali bersama tema-temanku yang lainnya. Tanpa ku sadari senyum tipis nan getir tersungging dari bibir mungilku.
“Pasti teman-temanku sekarang sudah menjadi penari professional diluar sana. Selamat ya, teman-teman.” Khayalanku mulai ikut bermain dalam otakku.
“Coba saja dulu Ibu tak memutus les tari ku, pasti saat ini aku sudah menjadi apa yang ku inginkan. Menjadi penari professional.” Bisikku nyaris tak terdengar.
Terkhayal aku dan teman-temanku sedang mengadakan show tari diberbagai belahan dunia. Wah… betapa menyenangkannya. Tapi itu sudah pupus, Ta. Ingat! Sudah pupus. Dada ini sesak. Sedikit menyalahkan Ibu dan Ayah, tapi segera ku kendalikan hati dan pikiranku. Tak ada yang salah, Tuhan sudah menentukan jalan terbaik dalam hidup hamba-Nya, termasuk aku. Tuhan punya rencana hebat untukku. Aku yakin Tuhan pun ingin melihat aku sukses di dunia dan akhirat-Nya. Tinggal aku yang berusaha.   
            Suara gelegar petir menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Hujan dan petir pun seakan tak setuju jika aku terus menyalahi Ibu atas kehidupanku. Mimpi 13 tahun lalu mungkin harus benar-benar aku kubur dalam-dalam, karena itu tak lebih dari sekedar ‘mimpi’. Dapat kubayangkan tapi tak dapat ku gapai. Mimpi tinggallah mimpi… tak akan kembali.
            Tapi hujan membawa bayangan itu datang kembali ke pulupuk mataku. Terbayang lagi ketika aku dengan gemulainya melenggak lenggok diatas panggung audisi penari cilik dengan riangnya. Hatiku sesak mengingat itu, seakan dipenuhi bara api di dalamnya yang membuat aku terisak. Butiran bening halus mirip hujan yang membasahi jendela kamarku kini justru mengalir perlahan di pipiku. Sedih rasanya… Berkali-kali ku coba tepis rasa kecewaku pada Ibu dan coba mensyukuri hidupku yang sekarang, tapi berkali-kali pula pikiranku menahannya. Bodoh, memang bodoh.
            “Tehnya, Kak.” Ada suara yang lagi-lagi membuyarkan lamunanku sore itu.
Sheli, adik perempuanku. Ku pandangi wajah lugunya, ku tangkap wajahnya penuh ambisi, menjadi seorang ‘guru’. Kemampuan berpikirnya lebih dari pada aku, tak heran jika ia ingin sekali menjadi pahlawan tanpa tanda jasa itu. Bahkan saat ini usianya menginjak 17 tahun dan masih duduk di kelas 3 SMA Negeri di Bekasi, ia sudah bisa merintis mimpi dan cita-citanya dengan menjadi pengajar pramuka anak-anak SD disebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumah kami.
            “Haloo… Kak?” Sheli mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajahku.
Aku tersentak, “Ya, kenapa tadi, Ei?” Ei adalah nama kecil adikku.
            “Kak Tata ngelamun, ya?” Tanyanya lagi sambil menyerahkan secangkir teh untukku.
            “Ah, nggak. E, nggak biasanya deh Ei buatin Kakak teh. Hayo… ada maunya ya? Mau apa?”
            “Hehe… ya, sedikiiiittt. Tapi Ei kan memang baik hati, Kak.” Dengan nyengir kudanya ia duduk disebelahku.
            “Ayo bilang, ada apa?” Aku menyeruput teh hangat yang dibawanya.
            “Ehmm… waktu kecil cita-cita Kakak apa?” Mendengar pertanyaan itu, ingatanku seakan membludak. Malas menjawab, karena akan melukai hatiku lagi.
Aku terdiam beberapa saat, pikiranku melayang jauh ke zaman dimana semuanya masih terasa menyenangkan bagiku.
            “Penari.” Jawabku singkat dan terus menyeruput teh milikku.
            “Wah… kenapa sekarang malah jadi pegawai kantoran, terus malah suka nulis?” Ya Tuhan, waktu seakan berhenti. Bara di dada kembali berkobar menjadi api. Aku tak mungkin marah padanya, aku tak mungkin menghardiknya keluar dari kamarku. Aku hanya bisa berusaha menguatkan diri untuk menjawabnya. Tanpa terasa, air mataku meleleh lagi. Air mataku harus terbuang untuk sesuatu yang tak mungkin kembali. Aku tertunduk lemah, Sheli menyentuh lembut pundakku dan mencoba menenangkanku meski aku yakin, sebenarnya ia pun tak tau alasan mengapa aku menangis.
            Dalam keadaan masih sesenggukan dan menunduk, aku bercerita semuanya pada Sheli. Semua tentang impian dan cita-citaku yang telah punah. Wajahnya terlihat mengiba padaku.
            “Makanya, kalau Ei sungguh-sungguh mau jadi guru, belajarlah yang rajin dan kumpulkan uang dari sekarang. Siapa tau kejadiannya seperti Kakak. Berhenti les tari karena sudah nggak ada biaya. Nyesel banget.” Kataku mengakhiri curahan hati sore itu. Sheli hanya mengangguk mengerti.
            “Iya, Ei kesini mau minta tolong sama Kakak. Sebelumnya Ei mau tanya, Tes Toeic itu penting ngga sih, Ka?” Tanyanya sambil mengambil teh milikku.
            “Ya pentinglah, kenapa?” Sebenarnya dari cara bicaranya aku sudah menangkap apa yang ingin ia sampaikan, ia pasti ingin ikut tes itu.
            “Memang tes Toeic itu untuk apa sih? Kalau jadi guru harus ikut tes Toeic juga?” Sheli membenarkan posisi duduknya. Dan bersiap mendengarkan penjelasanku tentang tes Toeic itu.
            “Tes Toeic itu adalah tes bahasa Inggris untuk Komunikasi Internasional. Yaitu untuk menguji kecakapan bahasa Inggris orang-orang pribumi. Bisa cara penulisannya, pnegucapannya seperti pidato dan lain-lain. Biasanya sih soalnya pilihan ganda dengan waktu 2 jam. Jadi penting kan?”
            “Ya, itu penting dong. Apalagi untuk calon guru seperti Ei. Hehe… Di sekolah akan diadakan tes Toeic, tapi bayar 40 ribu. Uang Ei cuma ada 10 ribu, Kakak bisa tambahkan?” Sheli menunduk menunggu jawabanku. Aku tau ia sangat berharap padaku. Karena ia juga sangat sayang pada Ibu, ia tak mungkin mau menyusahkan Ibu.
Kebetulan, aku ada uang sisa bayar kuliah dua hari lalu. Kuliah yang aku bayar dari hasil keringatku sendiri. Meski begitu, awalnya tak luput dari peran Ibu kami. Ini bukan kesalahan Ibu yang tak punya uang, tapi ini adalah sebuah ujian bagi keluarga kami. Seberapa besarkah rasa bersyukur kami pada Sang Khalik.
            Aku berdiri menuju tasku yang tergeletak diatas meja belajar. Dari dalam dompet berwarna ungu tua ku keluarkan uang selembaran 50 ribuan. Ku lihat isi dompetku, masih ada dua lembar uang 50 ribuan dan beberapa receh hasil kembalian saat aku naik bus.
            “Ini. yang 10 ribu punya Ei disimpan aja. Sisa uang ini Ei simpan kalau suatu saat butuh.” Aku menyodorkan uang itu pada Sheli.
Dengan mata berbinar Sheli menerima uang itu, senang rasanya melihat raut wajah adikku itu begitu membanggakan. Do’aku akan selalu mengembang untuk keberhasilanmu, Dik.
            “Terima kasih, Kak. O iya, cerpen Kakak yang kemarin sudah selesai? Boleh Ei baca?”
            “Oh, sudah. Sebentar… naskahnya ada di tas Kakak.” Aku meraih tasku kembali, kali ini aku mengambil beberapa lembar kertas yang biasa aku gunakan untuk menulis cerpen. Ku serahkan cerpen itu pada Sheli. Ia menerima dan membacanya dengan serius.
            “Wah… yang ini lebih menyentuh, Kak. Yang diikutsertakan cerpen ini saja.” Komentarnya seusai membaca cerpenku dengan tema ‘Perempuan’ dan judul ‘Tuhan Tak Abaikan Aku’ itu.
Akhir-akhir ini aku memang senang membuat cerpen dan mengirimkan ke media atau ikut lomba melalui jejaring social ‘facebook’. Aku tak mau kegagalanku menjadi seorang penari Internasional membuatku terus-terusan jatuh dalam keterpurukan. Aku lebih suka melarikan diri ke dunia kepenulisan. Meski tak banyak naskahku yang mencuri hati para juri maupun redaktur tapi aku tak pernah putus asa, terlebih Sheli selalu ada untuk membesarkan hatiku. Memotivasiku untuk tidak kalah dengannya yang ‘anak baru kemaren’. Semangatku selau muncul tatkala aku diskusi dengannya.
Aku tersenyum, dalam hati aku berkata bahwa moment ini lah yang akan aku ikut sertakan dalam event itu. Event A Cup Of Tea.
            “Do’akan supaya naskah Kakak terpilih ya, terus Kakak dapat hadiah buku untuk kemudian dijual ke teman-teman kita, insya Allah uangnya cukup untuk bayar lesmu 3 bulan kedepan. Karena Kakak juga ada tabungan sedikit.” Aku menaruh harapan besar melihat adikku itu menjadi seorang guru, seperti yang ia ingini.
Ya Allah… hamba mohon, berikan hamba umur yang panjang agar disaat Sheli mengenakan pakaian wisuda dan menggenggam toga, aku masih ada didekatnya. Melihat ia dalam dunia nyata bersama Ibu. Melihatnya tumbuh menjadi guru besar yang berhati mulia.Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu