Engki Sayang, Engki Malang

Engki Sayang, Engki Malang
Oleh Juniarmitha

Suara nyaring petasan itu mulai terdengar di kampungku, tepat setelah aku dan masyarakat lainnya pulang dari masjid usai menjalankan ibadah sholat Idul Fitri. Langkah kaki seakan tak ingin langsung sampai di rumah, setiap liku jalan dan rumah yang dilewati selalu saja membuat kami mampir untuk bermaaf-maafan atau sekedar mencicip kue khas lebaran. Nastar, putri salju, kue keju, rengginang, dodol, uli dan sirup sudah menjadi hidangan kebiasaan saat lebaran di kampungku. Mataku terpana ketika melihat sosok laki-laki paruh baya yang sudah bersiap dengan korek api ditangannya. Pakaian sholatnya masih lengkap, kain sarung, baju kokoh, kopyah dan sajadah melingkar gagah di pundaknya.
“Aduh, lagi-lagi …. “ Aku malas untuk meneruskan kata-kataku dan melanjutkan menonton.
“ Ayo Engki, pasang lagi petasannya!” Rengek seorang anak pada kakekku.
Ya, kakekku atau yang akrab kami panggil Engki / Aki, memang sangat menyayangi anak kecil. Ia sering bertingkah konyol agar anak-anak kecil tertawa melihatnya. Umurnya sudah mencapai 82 tahun, tapi gairah hidup dan semangatnya sangat membara. Kadang aku malu jika badmoodku sedang kambuh, rasanya malas hidup.
“Sudah ki, jangan dipasang lagi. Berisik, tidak enak dengan tetangga. Mungkin mereka mau tidur siang setelah seharian bersilaturahmi.” Aku mengandeng tangan Engki yang sudah bergurat kerutan halus itu.
“Ah, tidak apa-apa Tatha … petasannya masih banyak. Lagipula, masa Hari Raya mereka tidur sih.” Engki tak menghiraukan kata-kataku dan tetap asik dengan gulungan petasan super besarnya itu.
“Huhh, engki … “ aku menghela nafas dan berlalu dibalik keramaian anak-anak yang mengerumuninya.
Engki hanya tertawa terkekeh mengejekku dan terus melanjutkan acara ledakan bersama anak-anak kecil itu.
*****
Jam di gereja seberang jalan sudah berdentang, biasanya itu menandakan waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Tapi engki tak kunjung pulang dari tanah lapang. Aku termenung memandang langit yang semakin gelap, anak-anak itu juga mulai berhamburan pulang. Aku yakin sebentar lagi engki juga pulang. Aku segera beranjak dari kursi goyang kesayangannya, kalau ia pulang paling tidak secangkir kopi harus sudah siap untuk ia seruput demi menghilangkan lelahnya.
“Assalamualaikum … “ Terdengar suara parau yang sangat aku kenal, ya engki .
“Wala’alaikumsalam … “ Jawabku tergesa membawakan secangkir kopi luak kesukaannya.
“Ini, di minum ki.” Lanjutku seraya duduk di sebelahnya.
Engki menyeruput kopi itu dengan nikmatnya, ku pandangi wajah tua yang sudah mulai mengendur dan berkeriput itu. Wajah yang sejak kecil ku kenal sebagai ayah, ibu, nenek merangkap kakekku. Ya, karena memang dia satu-satunya yang aku miliki di dunia ini – paling tidak yang aku ketahui. Aku juga tak pernah menanyakan di mana orang tuaku, takut menyinggung perasaan engki. Engki juga tak pernah menceritakan perihal mereka kepadaku. Aku cukup mendoakan mereka dimanapun mereka berada, sekarang yang ada dalam hatiku hanyalah engki.
“ Kenapa Tatha liatin engki kayak gitu ? Naksir sama engki ?” Ledeknya dilanjutkan tawa khasnya.
“Iiee … engki apaan sih, pede banget deh.” Aku memonyongkan bibir belasan centi meter tanda tak suka.
“Kapan ya, engki liat Tatha menikah?” Kata-katanya membuatku sedikit tersentak.
Aku terdiam, tak tahu jawaban apa yang harus aku beri.
“Ga tau ah.” Segera aku berlalu dibalik pintu kamar sebelum engki jauh membahas masalah pernikahan.
            Kadang aku berpikir, kenapa engki ingin sekali aku cepat menikah ? Sedangkan umurku saja baru 19 tahun. Apa engki capek mengurusku? Apa aku ini menyusahkannya? Engki, aku sangat sayang pada makhluk Allah yang satu itu. Lamunanku jauh menerawang ke awan, ketempat yang mungkin asa dan cita-citaku ada disana .
*****
            Sore itu, lagi-lagi engki bermain dengan anak-anak kecil ditanah lapang. Berbeda dengan engki-engki lainnya disekitar rumah kami yang lebih suka duduk dibalai bambu depan rumah dan ditemani kopi atau rokok kawung.
“Ayo, engki ambilkan layangannya!” Pinta seorang anak laki-laki berbadan besar pada engki.
Aku kesal mendengar rengekan anak laki-laki itu. “Ia kan berbadan besar, kenapa tidak mengambilnya sendiri?” gumamku.
“Engkiiii …. Ayo kita pulang. Aku sudah masak sayur lodeh kesukaan engki.” Teriakku dari jarak beberapa meter.
Tak seperti biasanya, kali ini engki langsung menurut apa yang aku minta.
“Nanti malam kita main petasan ya, anak-anak!” Ajak engki dengan suara paraunya dan tawa yang sangat ku kenal.
Aduh, aku kira engki sudah insyaf tapi ternyata tidak. Lagi-lagi ia akan tetap main dengan anak-anak itu. Terlebih main petasan, sesuatu yang sangat tak aku sukai. Aku sudah berkali-kali mengingatkan engki untuk menjauhi benda berbahaya itu, tapi selalu saja jawaannya “ini petasan Tatha, bukan shabu-shabu seperti yang anak zaman sekarang bawa.” Dan tak lupa cekikikan tawanya diakhir kalimat yang ia ucap.
*****
Usai menjalankan shalat isya, benar saja apa yang direncanakannya. Ia sudah bersiap dengan korek api dan beberapa petasan dan sekantong kecil kembang api.
“Ini untuk yang perempuan dan ini untuk yang laki-laki.” Gumamnya sambil memisahkan antara kembang api yang ringan tingkat bahayanya dengan petasan yang tingkat bahayanya bisa dikatakan cukup tinggi.
“Engki … “ Aku menghela nafas melihat kelakuan si kakek yang satu itu.
“Apa cucuku ?? hehe …” Engki malah meledekku.
Dasar orang tua yang satu ini, benar-benar susah diberi tahu.
“Engki mau main petasan lagi dengan anak-anak itu?” Tanyaku mulai serius.
“Ya.” Jawabnya singkat.
“Engki tau kan itu berbahaya? Engki tau konsekuensinya jika salah satu dari mereka terluka akibat petasan itu? Engki mampu mempertanggung jawabkannya?” Aku mulai sedikit sewot dengan kelakuan engki.
“Tatha marah sama engki karena engki lebih sering diluar rumah, dibandingkan berdiam diri dirumah menemani Tatha?” Tanyanya mulai ikut serius.
Aku terdiam, kupandangi mata sayupnya lekat-lekat. Apa mungkin yang dibilang engki itu benar? Apa aku marah karena engki tak pernah ada waktu lagi untukku yang sudah beranjak dewasa? Atau aku hanya iri karena perhatian engki pada anak-anak itu? Batinku juga mulai berbicara. Ruang di dada ini serasa sempit tak dapat bersua.
“Bukan begitu, tapi … “ Belum sempat aku meneruskan kata-kataku engki malah ngeluyur keluar seperti tanpa rasa dosa. Ah, orang itu . Aku cuma bisa elus dada dan geleng-geleng kepala. Orang tua kok kelakuan kaya anak kecil sih ki, ki… Tapi meskipun begitu, ia tetap orang yang aku sayang, orang yang aku hormati dan orang yang aku butuhkan untuk terus membakar semangat hidupku.
Sayangnya … ledekan, tawa khas, bunyi petasan hingga rengekan anak-anak itu hanya masa lalu. Saat engki belum seperti sekarang. Saat orang tua anak itu belum melaporkan engki pada polisi dan saat engki belum masuk dalam bui hingga akhir menemui ajalnya disana.
            Ya, semuanya salahku. Harusnya aku terus mengingatkan engki untuk tidak mengajak anak-anak kampung bermain petasan lagi. Harusnya aku melarang engki melakukan itu. Hingga apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Kaki seorang anak laki-laki harus lumpuh dan di amputasi karena ledakan petasan yang engki nyalakan. Meskipun itu tak sepenuhnya salah engki, tapi polisi tidak menemukan bukti kalau engki tidak bersalah. Engki dijebloskan ke dalam penjara karena ternyata sebelumnya pun ada undang-undang yang mengatur tentang petasan itu. Sisa-sisa umurnya yang ternyata tidak lama itu harus ia lewati didalam jeruji besi penderitaan.
“Sabar, Tha ! Ini cobaan buat kamu yang sholehah.” Kata engki suatu hari sebelum kepergiannya.
Ia masih asik menyeruput kopi buatanku yang mungkin sudah dingin karena sejak tadi ku buat.
“Coba engki denger kata Tatha, pasti semuanya nggak akan seperti ini, ki.” Sahut ku lemah menanggapi kata-kata engki yang terlihat biasa saja dengan kejadian yang menimpanya.
“Yasudahlah, kenapa harus dibahas lagi sih? Biarkan saja, Allah tau yang terbaik buat engki kok, Tha. Sabarlah.” Lagi-lagi engki tetap bersabar dan bersemangat .
            Hanya itu obrolan terakhir aku dengannya di bui beberapa hari lalu sebelum seorang polisi menelponku dan memberikan kabar duka bagiku. Hingga akhirnya, saat ini tepat dihadapan mataku terbujur kaku jasad seorang kakek dengan senyuman manis, seakan ingin berkata “aku tak sedih, aku tetap bahagia, jangan bersedih cucuku.” Air mataku tak dapat terbendung, isak tangis tak dapat ku tahan. Mereka yang datang hanya mampu mengelus kepalaku, tak dapatkah kalian kembalikan kakekku seperti dulu? Aku akan sangat merindukan sosok orang tua itu, tawa khasnya yang senantiasa terdengar ketika bercengkrama, nasihatnya yang menyejukan jiwa, bahkan ledekannya yang kadang membuatku jengkel.
            Tapi aku menyadari bahwa aku, kamu, dia atau siapa pun tak dapat mengubah keputusan Allah untuk memanggil engki saat itu juga. Mungkin benar kata orang-orang diluar sana. Orang baik pasti cepat dipanggil oleh Allah.  Dan bagi aku yang masih hidup harusnya dapat mengoreksi diri agar jadi lebih baik lagi. Satu yang masih sangat mengganjal dalam pikiranku. Dulu engki ingin sekali melihat aku segera berdiri manis di pelaminan, tapi engki tak dapat melihat itu. Maaf engki, aku belum bisa mengabulkan maumu hingga kau benar-benar tak di dunia yang sama lagi denganku.
“Aku akan selalu mendoakanmu ki, selalu. Hingga Allah akan mempertemukan kita nanti di Surga. Aku harap , aku akan mendengar tawamu, ledekanmu, serta nasihatmu walau hanya dalam mimpi. Selamat jalan engki, kasihku kan selalu menyertaimu.” Bisikku nyaris tak terdengar, tepat ditelinga engki yang masih dalam bungkamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu