Rival Kurang Pintar

Rival Kurang Pintar
Oleh Mitha Juniar

            Namanya Nia, tampangnya culun, rambut selalu dikuncir dua mirip bi Minah yang suka membantu mamah dirumah, rok yang dikenakannya menggantung seakan takut menyentuh tanah tapi tak mau terlihat ada apa dibaliknya, kacamata besar berwarna orange yang amat norak, ahh .. tak ada tampang juara kelas pokoknya. Tapi nyatanya dia adalah rivalku di kelas, seseorang yang selalu menyerempet nilai dan prestasiku. Meski prestasinya selama ini  selalu berada dibawahku, tapi aku cemas karena dia pintar cari muka dengan guru-guru disekolah. Hal inilah yang tak bisa kulakukan. Aku lebih suka bersaing dengan otakku dibanding curi simpatik orang lain, maaf aku tak mampu.
            “Hari ini ulangan matematika ya ?” Tanya Ira padaku.
            “Ya, semoga nilaiku bagus. Amin.” Jawabku masih asik dengan buku catatan yang kubolak-balik.
            “Aku duduk dibelakang ya teman-teman.” Tiba-tiba Nia yang tak diajak bicara itu mengeluarkan suara.
            “Kenapa?” Tanyaku agak malas tapi penasaran.
            “Aku nggak mau saja banyak yang bertanya, mengganggu konsentrasi.” Ia memindahkan tas super noraknya ke bangku dibarisan paling belakang. Aku hanya mengangkat bahu.
            “Kadang aku kesal dengan sikapnya.” Bisik Ira padaku, aku hanya mengangguk.
            Test berjalan lancar, tak ada soal yang membuatku memelintir otak hingga genting. Tapi aku kalah cepat dengan Nia. Sudah 15 menit yang lalu dia mengumpulkan jawabannya. Ada perasaan iri dan tidak terima melihat dia melenggang mengumpulkan tugas. Tapi kucoba redam perasaan itu, aku yakin pada diriku sendiri. Ya, aku yakin aku bisa. Tentunya dengan jalan yang sehat.
            “Bagaimana Des, test tadi menurutku mudah sekali . Ya kan ?” Tanya Nia padaku.
Aku hanya mengangguk, selain aku memang tak suka banyak omong kecuali ada nilainya, aku juga malas menimpalinya bicara karena akan berakhir debat yang tak menyenangkan hasilnya.
            “Des, mau menemaniku ke toko buku sekarang?” Ah, ajakan Ira tentu sangat membantuku menghindar dari nenek sihir nan cerewet itu.
            “Tentu, ayo Ra!” Aku segera menarik tangan Ira yang masih asik dengan es kelapanya dan berlalu meninggalkan Nia yang sedang sibuk atau pura-pura sibuk, entahlah.
*****
            Hari sudah semakin sore, aku dan Ira sudah puas mengubek-ubek seluruh toko buku di mall ini. Saat akan pulang, mataku terpaku pada seseorang didekat pintu mall. Itu seperti Nia.
            “Ra, coba deh liat cewek itu!” Aku menunjuk gadis yang aku maksud.
            “Nia ?? Eh, betul nggak sih penglihatanku ?” Ira malah balik tanya padaku.
            “Ikutin yuk!” Aku menarik lengan Ira, tapi Ira tak mau.
            “Jangan, buat apa sih? Ayo pulang, sudah sore.” Ajaknya.
Aku fikir, Ira ada benarnya. Untuk apa juga mengurusi urusan Nia, meski hati ini penasaran karena tingkah aneh Nia.
            Esoknya, lagi-lagi Nia terlihat aneh di sekolah. Tampangnya benar-benar lebih tengil dari biasanya. Ia jalan bak puteri keraton yang harus diberi senyum dan salam penghormatan.
            “Hai Des, kamu udah liat hasil test kemarin? Tuh di madding.” Katanya dengan gaya , ichhhh .. nyebelin.
            “Belum, ya nanti aku cek.” Jawabku malas.
            “Ehmm… kali ini nilai aku lebih tinggi lho dari kamu.” Ujarnya sedikit tengil.
Aku sempat kaget, terbelalak dan tak percaya. Aku beranjak menuju madding, ingin ku buktikan kata-kata nenek sihir itu, benar atau mengada-ada.
            Ya Tuhan, lemas rasanya aku melihat tulisan di mading itu. “Nia Triagustien 100” , namanya berada diatas namaku. Sungguh aku tak bisa menerima kenyataan seperti ini. Entah aku iri karena ia lebih pintar dariku ataukah egois karena tak boleh ada yang mengalahkan prestasiku padahal itu adalah hak semua siswa.
            Aku kembali dengan tak bersemangat ke kelas.
            “Aku udah liat, pasti karna itu kan kamu tak bergairah seperti ini?”Ira menepuk pundakku. “Ini baru sekali terjadi Des, kamu bisa ko buat semuanya seperti dulu lagi.” Lanjutnya.
            “Kamu tau nggak, rasanya ada partikel yang hilang dari otakku, kalau sudah begini.” Jawabku lemas tak berdaya.
            “Ah, lebay kamu kaya anak alay. Semua akan kembali seperti dulu kok, Des. Ayo buktikan! Kamu bukan gadis lemah kan?” Ira merangkulku.
Mungkin aku harus percaya dengan kata-kata Ira, ooppss .. bukan mungkin, tapi harus. Aku harus bangkit, tak bisa seperti ini. Dia baru satu kali mengalahkanku, sedangkan aku sudah sekian kali menang darinya. Ayo semangat!
            Ini test hari kedua, matematika. Pelajaran yang ditakuti oleh banyak siswa disekolah. Bangku dibaris depan sudah penuh dengan mereka yang dipaksa duduk sana oleh bu  Elvi, guru kami. Mau tak mau aku harus duduk dibelakang Nia, ahh … tambah tak semangat. Aku harap test kali ini lancar.
            Soal-soal kali ini lumayan menguras otakku. Sesekali aku melihat sekeliling untuk sekedar me-refresh otak yang kusut semerawut. Tapi betapa kagetnya aku melihat kelakuan Nia. Ia mengeluarkan catatan kecil di kertas dari sepatunya. Contekan , ya … ternyata kepandaiannya selama test bukan hasil murni. Bersyukur aku tak seperti dia, nilaiku murni hasil belajar dan berfikir. Aku tak bisa menerima jika nilainya harus melebihi nilaiku lagi, jika caranya seperti ini. Tapi aku tak tega melaporkannya pada guru kami. Aku takut Nia tak boleh lagi ikut test, bagaimana nasibnya nanti ? Bisa-bisa dia tidak lulus.
            “Nia, ternyata kamu … “ Aku berbisik pada Nia berharap tak ada yang mengetahui hal ini, selain aku dan Tuhan.
Nia kaget bukan main karena aku mengetahui keburukannya. Wajahnya pucat pasi, keringat mengalir dari keningnya, dengan gemetar ia menjawab kata-kataku.
            “Ma.. maaf . A… ku cuuuma mau buat mamahku bang..ga , Des.”
            “Tapi nggak begitu caranya. Seharusnya kamu belajar, bukan mencontek. Mengerti!” Kali ini suaraku agak keras hingga semua menoleh ke arahku.
            “Sudah selesai Dessy?” Tanya Bu Elvi padaku.
            “Su … sudah bu, sebentar aku koreksi lagi ya sebelum aku serahkan pada Ibu.” Aku berusaha menyembunyikan kesalahan Nia.
            “Berikan kertas itu padaku!” Pintaku sedikit kesal pada rivalku itu.
            “Untuk apa?” Baru kali itu aku lihat wajahnya memelas.
            “Ku buang.” Aku meraih kertas itu secara paksa, ia hanya mengangguk dan memperhatikan aku hingga menghilang dibalik pintu.
            Baru aku yang keluar kelas, suasana masih sepi. Pikiranku melayang mengingat kejadian tadi dikelas. Tak kusangka, rivalku itu bisa berbuat curang hanya untuk nilai yang tinggi.
            “Nia, Nia .. kenapa cuma karena nilai kau melakukan ini sih?” Gumamku sambil memangdang ke langit, seakan orang yang aku maksud ada diatas sana.
Benar-benar tak habis pikir, tak percaya dan ternyata rivalku kurang pintar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu