Peluk Aku Satu Menit Saja

Peluk Aku Satu Menit Saja
Oleh Mitha Juniar

            Angin semakin kencang menyibak rambutnya, gadis manis yang dulu pernah menjadi rivalku di kelas. Natasya namanya. Saat ini dialah gadis yang amat ku cintai, aku rela melakukan apa pun demi kebahagiaannya sekarang. Dulu aku sangat membencinya, ia adalah rival terberat bagiku di sekolah, meski aku selalu percaya diri kalau aku masih lebih baik darinya.
            Semua berawal sejak kepindahannya ke sekolahku. Aku dengar dia pindahan dari SMA Negeri, Bandung, aneh… kenapa dia malah pindah ke sekolah swasta seperti sekolahku. Padahal sekolahnya dulu jelas-jelas sekolah favorit di Bandung, passing grade-nya saja paling tinggi. Meski pun sekolahku ‘Internasional School’ yang sudah jelas-jelas bertaraf internasional, tapi harus tetap digaris bawahi kalau sekolah ini adalah ‘sekolah swasta’.
            Saat itu sudah masuk pelajaran ketiga di kelasku. Tapi sayangnya guru yang bertugas mengajar saat itu tidak masuk kelas, alhasil kami hanya diberi beberapa halaman tugas dan di wanti-wanti untuk tetap tenang dan jangan keluar kelas. Ya… tapi namanya juga anak SMA. Meskipun sudah dilarang untuk berisik, tapi tetap saja kami berisik. Tak ada yang menghalangi kami untuk bersenda gurau. Tarlihat dari beberapa teman-tamanku yang sangat menikmati jam kelas yang kosong ini. Lain halnya denganku, aku merasa rugi karena kekosongan jam pelajaran seperti sekarang. Maklum, aku bukanlah anak orang kaya seperti mereka. Uang yang orang tuaku gunakan untuk membayar sekolahku harus benar-benar aku manfaatkan semaksimal mungkin. Tak boleh lalai dan terlena dengan kesenangan sementara yang justru akan membawa dampak buruk bagi masa depanku.
            Tapi tiba-tiba datang seorang guru menggunakan seragam dinas berwarna hijau dengan motif batik yang indah, mengenakan sepatu panthopel dan rambut terikat rapi menggunakan hairnet.
            “Pagi anak-anak.” Sapanya dengan suara lantang bak panglima perang.
            “Pagi, Bu.” Jawab aku dan teman-teman serentak pada Bu Lina, wakil kepala sekolah itu.
            “Oke, pagi ini kalian kedatangan teman baru. Namanya Natasya. Untuk lebih lengkapnya, kita silahkan Natasya untuk memperkenalkan diri ya. Silahkan, Nak.” Katanya mempersilahkan gadis disampingnya untuk memperkenalkan diri.
            “Namaku Natasha Dwi Fransiska. Kalian cukup sapa aku dengan nama Nata. Aku pindahan dari SMA Negeri 3, Bandung. Aku pindah kesini karena ayah ku dipindahkan tugas ke Jakarta.”
            Selesai memperkenalkan diri yang menurutku membosankan, Bu Lina mempersilahkan anak perempuan itu duduk disebelahku. Sebenarnya aku kurang setuju dengan keputusan Bu Lina menempatkannya disebelahku. Tapi aku tak punya pilihan lain karena satu-satunya kursi kosong di kelas ini hanyalah yang disebelahku ini. Setengah hati ku terima keputusan itu.
            “Hai, aku Nata.” Sapanya padaku sambil mengulurkan tangannya.
Belum sempat aku membalas sapaannya tiba-tiba saja sudah banyak siswa laki-laki megerumuninya. Muak aku dibuatnya. Dalam pikiranku dia adalah gadis yang sok cantik, meski kata sebagian besar teman laki-laki di kelasku bilang kalau dia memang cantik. Entahlah… bagaimana pandangan mereka tentang gadis itu tapi bagiku ia tetap ‘rival’ yang harus ku kalahkan.
***** 
            Kira-kira sudah dua bulan Nata bersekolah di sekolahku. Ia membuatku jengkel dengan prestasinya. Beberapa guru yang biasa meminta bantuanku untuk mengerjakan soal tidak lagi melirikku. Selalu Nata, Nata dan Nata. Meski ada beberapa guru yang masih membutuhkan kebisaanku. Aku merasa pamorku turun – dalam hal kepandaian – karena hadirnya Nata di sekolah ini.
            Pagi itu nilai ulangan matematika akan diumumkan di mading sekolah. Dadaku berdebar hebat, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini aku punya rival, ingat Wan, rival! Batinku menjerit. Kerumunan siswa-siswi sudah memadati muka mading. Perlu beberapa gerakan untuk sampai dimuka mading dan melihat kertas nilai yang tertempel disana. Mataku tiba-tiba basah dibuatnya. Nama rivalku, Natasya berada dipaling atas lalu menyusul namaku dibawahnya. Lutut ini terasa lemas, tak kuasa menopang beban badanku. Otakku seakan mendidih, benci campur marah berkecamuk dalam hatiku.
            “Hai, Awan. Nilai kita hampir sama ya. Hanya beda 0,5 saja.” Tiba-tiba suara itu menyadarkanku, suara Nata.
Aku melirik sinis ke arahnya, “Ya, puas kau!” Aku meninggalkannya yang masih bingung dengan sikapku. Mulai saat itu aku tak pernah menegur Nata, tegurannya pun aku abaikan. Meski terkadang hati ini mengiba saat melihat wajah cantiknya memelas kearahku.
*****
Mentari pagi membangunkanku, sinarnya seakan menyapaku yang baru saja bangun dari tempat tidur. Ku lihat jendela sudah terbuka. “Pasti si Mbok yang membukanya.” Pikirku.
Jam dinding dikamar sudah menunjukan pukul 6.30, aku kaget dibuatnya. Betapa tidak, itu berarti aku terlambat. Aku bergegas mandi dan merapihkan diri. Sekotak kecil susu cair dan beberapa potong roti aku masukan kedalam tempat makan dan  ku bawa ke sekolah, aku tak sempat sarapan. Dengan kecepatan tinggi aku mengendarai motor menuju sekolah. Saat itu aku bagaikan menentang maut.
            Untunglah aku tidak telat sampai di sekolah, aku datang 3 menit sebelum bel masuk. Ku parkirkan motorku didekat sebuah motor bebek berwarna hitam. Aku berlari-lari kecil menuju ruang kelasku yang berada di lantai dua paling ujung. Nafasku masih terengah-engah saat tiba di pintu kelas. Saking terburu-burunya aku tak memperhatikan sekitarku. Dan…
Brrruuukkkk…
Entah aku menabrak seseorang atau justru aku yang ditabrak seseorang. Tapi yang kulihat gadis yang itu jatuh tersungkur ke lantai, sedangkan aku masih berdiri kokoh didekatnya. Segera ku tolong gadis itu, ternyata dia teman satu mejaku, Natasya.
            “Maaf, Nata. Aku nggak sengaja, maaf ya.” Kataku sambil membantu Natasya berdiri entah kenapa hari itu aku berbeda pada Nata.
            “Oh, tidak. Aku yang salah kok, Awan. Maaf ya.” Tatapan matanya yang sejajar denganku membuatku diam tak berkutik. Baru kusadari betapa cantiknya gadis ini. Tiba-tiba berdesir perasaan berbeda dalam hatiku. Seperti… ah, tidak mungkin.
            “Hei, Awan.” Natasya mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku.
Aku tersentak dan segera menyadari lamunanku. Tanpa menjawab sepatah kata pun aku langsung bergegas pergi meninggalkannya ke kursiku.
            “Hei, Bu Teti tidak masuk hari ini, aku mau ke perpustakaan. Apa kau mau ikut?” Katanya lagi dengan suara kencang karena aku sudah menjauh dari tempatnya berdiri.
Aku masih mendengar kata-katanya, tapi sudah pasti jawabanku ‘tidak’. Aku malas bicara dengannya, dia yang yang selalu mengambil posisi prestasiku. Menyebalkan! Aku hanya menjawabnya dengan isyarat tangan. Beberapa kali juga aku menggelengkan kepala tanda penolakan. Setelah aku sampai dikursiku, tak ku dengar dan tak kulihat lagi sosok gadis itu.
            “Eh, Wan. Boleh nanya nggak?” Tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku dari belakang.
            “Oh, Dearry. Ya, mau tanya apa?” Kataku membenarkan posisi dudukku agar sejajar dengan Dearry.S
Dearry menceritakan semuanya padaku, bahwa Dearry sangat tertarik dengan rivalku yang duduk disebelahku itu. Dan yang paling membuatku tersentak adalah saat Dearry menyatakan maksudnya cerita itu semua padaku. Dearry tidak pernah tau kalau aku sedang perang dingin dengan Nata meski kemungkinan besar Nata tidak menganggapku musuhnya.
            “Ya, begitulah. Kamu mau kan bantu aku, ya… jadi mak comblang aku dan Nata gitu deh. Mau ya?” Wajah Dearry menunjukan pengaharapan yang sangat memelas.
            Aku terdiam, tak dapat berkata apa-apa, bingung. Pikiranku melayang, kalau aku tidak bantu Dearry pasti dia tidak akan mau lagi berteman denganku, atau parahnya dia tak lagi mau meminjamkan buku-buku pengetahuan baru yang dibelinya. Maklum, aku tak mampu untuk membeli buku-buku itu dua hari sekali seperti yang dilakukan Dearry. Padahal buku-buku yang ia beli jarang sekali ada yang dibaca. Untunglah aku.  Lalu kalau sudah begitu, berarti sumber ilmuku berkurang satu, sangat disayangkan. Tunggu! Pikiranku belum selesai. Kali ini ia bercabang ke pemikiran lain. Kalau aku bantu Dearry, itu artinya aku harus belajar dekat dengan Natasya. Oh Tuhan, itu hal yang sangat menyebalkan. Apalagi melihat caranya mengerjakan soal dengan cepat. Huekk… membuatku mual.
            “Awan! Kok diam sih?” Dearry menggoyangkan badanku cukup keras hingga menyadarkanku dari pencabangan pemikiran barusan.
            “E, iya maaf. Bagaimana ya? Aku kan juga…”
            “Ayolah, kamu pasti bisa.” Belum sempat aku menyatakan alasanku tapi Dearry sudah memotong omonganku.
Aku menghela nafas, pasrah. “Ya sudah, nanti aku bantu.” Suatu keputusan yang salah menurutku. Dengan adanya rencana ini aku harus mengubah sikapku pada Nata, aku harus pura-pura baik.
            “Oke, terima kasih ya, Wan. Kamu memang teman yang baik.” Dearry menepuk pundakku dan berlalu begitu saja ke luar kelas meninggalkan aku yang masih bingung.
            Tanpa ku sadari Natasya sudah berada disampingku.
            “Awan, kau kenapa? Sakit? Kenapa termangu begitu?” Suaranya meneduhkan hati, sentuhan tangannya di keningku seakan membuatku nyaman.
Entah apa yang terjadi pada aku dan hatiku. Berkali-kali aku coba menepis bayangan wajah indah Natasya. Berkali-kali juga ku tanamkan pemikiran seperti awal Nata datang ke sekolah ini. ‘Nata is my RIVAL’. Tulisan itu ku tempel di dinding kamarku agar memotivasi aku untuk mengalahkan nilainya. Natasya menyentuh keningku lagi hingga membuatku tersadar.
            “E, aku nggak apa-apa, Nat.” Aku menggeser sedikit posisi dudukku agar tak terlalu dekat dengannya.
Ingatan akan permohonan bantuan Dearry membuatku lemah saat itu, entah karena apa. Sepertinya aku menyatakan ketidakrelaan akan hal itu. Dearry yang duduk 3 bangku didepanku pun seakan menohok dadaku dengan isyarat cintanya untuk Natasya. Aku bingung, ada apa denganku? Nata itu rivalmu, Awan. Batinku.
            “Wan, aku masih baru disini. Boleh aku minta tolong?” Tiba-tiba Nata mendekat ke arahku.
            Dada ini semakin berdebar, “ya, ada apa?” Aku berusaha tetap sedingin mungkin pada Natasya.
            “Kamu mau kan antar aku ke toko buku? Aku ingin cari sesuatu disana.” Nata merapatkan kedua tangannya di depan dadanya, memohon padaku.
Toko buku? Aku sangat suka toko buku. Dan mungkin ini saatnya aku membantu Dearry mendekatkan dia dengan Natasya. Pikirku.
            “Hanya berdua?”
            “Sepertinya lebih baik begitu, bagaimana?”
Aku terdiam, masih bimbang. Terima atau tidak? Aku mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berharap aku tak salah jalan.
            “Baiklah.” Kataku pelan.
“Wahh… Terima kasih ya, Awan.” Nata menggenggam tanganku dan beberapa kali menggoyangkannya.
Tak ku sangka respon Natasya akan seheboh itu, gadis yang biasa anggun dan terlihat perfect itu bisa jadi se-lebay itu. Tanpa sadar aku dibuatnya tertawa terkekeh. Mataku dan matanya bertemu dititik yang sama. Sangat teduh, indah dan menghanyutkan. Untuk beberapa kali aku dan Nata saling memandang sebelum saatnya aku teringat akan permohonan Dearry. Segera ku alihkan pandanganku ke buku yang ada di mejaku.
Udara terasa panas siang  itu. Matahari seakan begitu semangat memantulkan sinarnya. Barisan motor di parkiran masih ada beberapa, karena hari ini memang ada jadwal ekskul basket. Aku masih duduk di motorku menunggu Natasya yang sedang ke kamar kecil. Dari jauh tubuh gempal Dearry berjalan mendekat ke arahku. Hatiku berdebar-debar dibuatnya.
“Hai, Wan. Bagaimana?” Sapa Dearry kemudian sibuk dengan motornya.
“Engg… hari ini aku mau nganter dia ke toko buku.” Aku agak gugup, takut Dearry marah padaku.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut karena ada acara dengan keluarga mommy. Tapi bagus, jangan lupa kamu cerita yang baik-baik tentang aku ya. Aku pulang duluan ya.” Belum sempat aku berkata apa pun, Dearry sudah melaju dengan motor gede-nya.
Entah kenapa hatiku justru sedikit lega.
            Matahari semakin terik, seorang gadis berjalan dengan dipayungi buku paket pelajaran demi melindungi kulitnya dari sengatan sinar matahari. Gadis itu berhenti di depanku.
            “Maaf, lama. Tadi antri banget, biasalah cewek. Kalau mau pulang pasti harus bergumul dandan di toilet.” Senyumnya membuatku meleleh lebih dari terbakar sinar matahari siang itu.
            “Ya, aku ngerti. Ayo!” Sedangkan aku tetap dalam sikap sok dingin seperti biasanya.
*****
            Keadaan mall cukup ramai siang ini, ada yang makan, memilih pakaian bahkan ada juga yang hanya nongkrong sekedar melepas panas diluar sana. Toko buku yang kami kunjungi juga lumayan ramai. Natasya memilih beberapa buku untuk dibelinya. Sesekali ia meminta pendapatku tentang buku pilihannya. Rasanya begitu damai didekat gadis itu. Sedang asik memilih tiba-tiba datang dua orang gadis berseragam juga menghampiri kami, tapi aku yakin mereka bukan dari sekolah kami. Karena seragam kami berbeda.
            “Hai Nata… ya Tuhan, nggak disangka akan bertemu kamu disini. Apa kabar?” Ternyata mereka adalah temannya Nata.
            “Hai, Cecille dan Rani. Aku baik, kalian bagaimana?”
            “Kami juga baik, kamu sama siapa nih? Ciee… dari dulu pilihan kamu itu nggak pernah salah ya, Nat. Dia ganteng kok.” Kata-kata gadis berseragam dengan pita merah di kepalanya membuatku tersipu malu.
            “Ah, kalian bisa saja. Ini Awan. Ehmm… kami duluan ya.” Natasya menarik lenganku seakan yang dikatakan temannya, bahwa aku ini ‘kekasihnya’ benar-benar terjadi.
Jujur, hati ini senang bukan main. Tapi tiba-tiba bayangan wajah Dearry hadir dipelupuk mata. Hati ini lemah dibuatnya.
            Selesai Nata membayar semua belanjaannya, kami makan disebuah café. Kali ini aku bertekad untuk jadi si pembayar. Malu rasanya kalau harus Nata yang membayar. Seorang pelayan datang membawa note untuk mencatat pesanan kami. Aku dan Nata memesan makanan yang sama persis, beef steak. Tapi minuman kesukaan kami berbeda. Ia lebih suka minum jus buah-buahan, sedangkan aku lebih suka minuman semacam kopi susu. Sambil menunggu pesanan kami datang, Nata banyak cerita tentang keluarganya. Sedangkan aku, tak ada yang dapat kuceritakan tentang keluargaku. Tapi tiba-tiba tatapan matanya berhenti dimataku. Suasana yang membuatku gugup.
            “Wan, aku sedang suka dengan seorang laki-laki. Bagaimana menurutmu?”
Hatiku serasa hancur, saat aku menyadari kalau ternyata aku menyukai Nata tapi justru dia sedang menyukai orang lain. Mungkin aku memang tak pantas untuknya.
            “Awan?” Nata menyadarkanku dari lamunan tak berujung.
            “Ya, ya kalau kamu suka bilang saja ke dia. Supaya tidak di ambil orang lain, hehe….” Aku mencoba tetap bersikap sewajarnya meski hati ini hancur.
            “Tapi aku perempuan, apa pantas?”
            “Bukankah itu sudah biasa? Katanya emansipasi wanita.”
Nata terdiam sejenak. Kemudian wajahnya tampak cerah.
            “Ya, kau benar. Baiklah aku akan bicara padanya.” Kata-kata Nata membuatku seakan lumer karena sengatan sinar matahari. Sakit.
Nata tersenyum padaku, ia meraih tanganku yang sedari tadi mengetuk-ngetuk meja membuat irama tak tentu. Hatiku dingin, beku tak taku harus bagaimana.
            “Awan, aku menyukaimu. Aku sangat berharap kau mau menemaniku sebagai seseorang yang special. Bagaimana?” Senyumnya menambah kebekuanku. Bergetar seluruh tubuhku. Berkeringat.
            “Kamu….” Aku masih gugup.
            “Ya, laki-laki yang aku suka itu kamu. Mau kah kamu jadi pacar aku?” Nata memejamkan matanya, wajahnya pucat, penuh harapan.
Tiba-tiba ponselku berdering, aku kaget melihat nama si pengirim sms itu. Dearry… dengan sedikit rasa penasaran aku membuka pesan darinya.
            Sepertinya aku dan Nata tidak berjodoh. Ternyata acara keluarga ini adalah acara syukuran kepindahan aku dan keluarga ke Singapura. Sedih… Tapi mau diapakan lagi, mungkin nanti disana aku akan mendapat yang lebih dari Nata. Terima kasih bantuannya, tapi tidak usah dilanjutkan. Atau dia untukmu saja, hehe…
            Isi sms dari Dearry seakan men-charge semangatku. Terasa bagaikan naik karpet Aladin, sangat menyenangkan. Ku tatap wajah Nata lekat-lekat. Ia tersenyum manis padaku, masih menuggu jawaban dariku.
Melihat itu, hatiku mencair. Tanpa ku sangka tanganku mampu mencubit pipinya. Ia memandangku dengan tawa kecil. Segera ku curahkan segala yang ada di hatiku. Sejak saat itu lah aku menjadi laki-laki paling beruntung. Dearry yang ku kabarkan tentang hal itu pun menerima dengan senang hati. Orang tua Nata dan orang tuaku juga sangat merestui, benar-benar menyenangkan kisah itu.
            Kini, 5 tahun sudah aku dan Nata menjalin cinta. 2 tahun terakhir aku ketahui kalau ternyata kekasihku itu menderita kanker serviks. Betapa terpukulnya aku. Berkali-kali Nata memintaku untuk meninggalkannya, tapi aku tak pernah mau. Seperti hari ini, aku dan Nata sedang duduk berbincang di villa miliknya di kawasan Puncak, Bogor. Ia dengan terang-terangan memintaku untuk menjauhinya.
            “Wan, kau tau hidupku tidak akan lama lagi. Sudahlah, tak ada harapan. Lebih baik kau tinggalkan aku dan cari wanita lain.” Suara paraunya menyayat hatiku.
            “Nata, aku mohon. Kau boleh minta aku untuk terjun dari bukit ini tapi ku mohon jangan kau minta aku menjauhimu atau meninggalkanmu. Aku terlalu sayang padamu, tak sanggup memenuhi yang kau minta.” Tak sadar butiran bening mengalir deras dari mataku.
Wajah pucat Natasya membuatku rapuh. Natasya memandangku lekat-lekat. Air matanya juga mengalir deras.
            “Boleh aku minta sesuatu yang belum pernah kau lakukan?” Katanya dengan wajah semakin melemah.
            “Apa? Katakan saja, aku berusaha sekuat mungkin untuk mengabulkannya.” Jawabku memantapkan hati.
            “Peluk aku.”
Aku tersentak mendengar permintaannya. Dari dulu aku tak pernah memperlakukannya sebagai kekasih pada umumnya. Aku menganggap dia kekasih, adik sekaligus sahabat yang harus ku jaga bukan aku manfaatkan. Apa ia hanya menguji pendirianku?
            “Aku mohon, sekali ini saja. Aku mohon, peluk aku satu menit saja. Mau kan?” Wajah pucatnya semakin memelas.
Aku tak tega, akhirnya aku dekatkan tubuhnya ke tubuhku. Ku peluk dia erat-erat. Ternyata begitu nyaman didekapannya. Semakin lama tubuhnya melemah. Hingga nafasnya tak terasa berhembus lagi. Ia lunglai… matanya terpejam. Aku coba membangunkannya, tapi tak ada hasil. Nafasnya sudah tak ada lagi, ia pergi… pergi dariku untuk selamanya. Tak kusangka Tuhan menginginkannya pulang dengan begitu cepat. Aku menangis sejadi-jadinya. Permintaan terakhir yang menyayat hati. Dia meminta aku memeluknya satu menit saja, dan menit berikutnya ia tak lagi ada… Semoga kau tenang disana, Nata. Ingat! Tunggu aku di surga untuk menemuimu. Tuhan kan persatukan kita lagi di rumah-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati-hati! Anakku Galak Buk, Hikkksss

Pacaran?

Giveaway #diatasWaktuAkuMenemukamu